Suatu hari di bulan Januari lalu, seorang ibu muda bernama Tuti, 29 tahun, datang ke tempat saya dengan membawa persoalannya. Sebagian besar yang ingin ia bicarakan adalah masalah pengelolaan anggarannya, yaitu bagaimana mengatur pemasukan dan pengeluarannya (ibu muda ini punya penghasilan tidak sampai Rp 2 juta). Setelah itu, pembicaraan kami juga menyinggung mengenai masalah kartu kreditnya. Ia punya tiga kartu kredit, yang masing-masing memiliki saldo hutangnya sendiri-sendiri. Setiap bulan, ia biasa membayar minimum untuk masing-masing tagihannya. Pada saat ini saldo hutangnya sebesar hampir Rp 1,5 juta.
"Apakah pada saat ini Anda punya uang untuk membayar semua itu?"
"Maksud Anda, bayar lunas, begitu?" tanyanya.
"Betul, bayar lunas."
Tuti ragu sebentar. "Yah, ada, sih.", katanya.
"Tapi?" tanya saya.
"Tapi itu."
"Tapi apa?" tanya saya.
"Tapi nggak seberapa."
"Oh, ya?" kata saya sambil melihat lagi ke jumlah tagihannya. "Berapa uang tunai yang Anda miliki sekarang?"
"Sekitar Rp 1 juta. Itu juga untuk persediaan dana cadangan."
Saya berpikir, kalau dia membayar tagihan kartu kreditnya dengan uang yang ada sekarang, maka ia tidak akan punya sisa untuk persediaan dana cadangannya. Dana cadangan sebesar Rp 1 juta saja tidak cukup besar, apalagi kalau uang itu masih dipakai untuk membayar tagihan kartu kredit.
"Begini saja" kata saya. Saya lalu mengambil sebuah kertas, dan membuat empat kolom. Pada kolom pertama, saya memintanya menulis nama dari masing-masing bank penerbit kartu kreditnya. Pada kolom kedua, saya minta ia untuk menulis jumlah yang masih menjadi hutangnya pada setiap kartu. Pada kolom ketiga, saya minta ia menulis berapa suku bunga yang dibebankan oleh masing-masing bank penerbit. Di kolom keempat, saya memintanya menulis berapa pembayaran minimal yang harus ia bayar pada setiap tagihan. Dibawah ini adalah hasilnya:
Bank Penerbit --- Saldo Hutang --- Suku Bunga --- Jumlah Pembayaran Minimal
Bank A --------------- 529.100 --------------- 2,75% --------------- 52.910
Bank B --------------- 717.513 --------------- 2,50% --------------- 71.752
Bank C --------------- 203.000 --------------- 3,10% --------------- 50.000
Jumlah ------------ 1.449.613 -------------------------------------- 174.662
Pertama-tama, Anda bilang bahwa Anda tidak punya cukup uang untuk membayar tagihan ini secara lunas. Betul?"
"Betul."
"Kalau begitu, kita akan mencicil saja," kata saya. "Berapa penghasilan Anda setiap bulan?"
"Rp 1,8 juta per bulan."
"Oke. Apa yang harus Anda lakukan sekarang adalah dengan menyisihkan jumlah uang tertentu setiap bulan, untuk digunakan membayar Tagihan Kartu Anda. Tentunya, jumlah itu harus lebih besar daripada jumlah yang harus Anda bayar untuk pembayaran minimum Anda."
"Minimum saya Rp 175 ribu."
Tuti 29 Tahun |
Tuti 29 Tahun
Tuti mengangguk. Disini ia setuju dengan saya.
"Berapa yang harus saya sisihkan setiap bulan?" tanyanya.
"Terserah Anda," kata saya. "Dua ratus, tiga ratus, makin besar makin baik. Tapi saran saya, coba saja Anda sisihkan sebesar 30 persen dari penghasilan Anda."
Tuti berpikir sebentar. "Penghasilan saya sekitar Rp 1,8 juta sebulan."
Saya menghitung di kalkulator. "Tigapuluh persennya berarti Rp 540 ribu per bulan"
"Hah!!???" Tuti melongo.
"Besar sekali. Hahh sampai sebesar itu yang harus saya sisihkan untuk membayar hutang?"
"Anda mau cepat habis tidak hutangnya? Kalau hutang itu tidak cepat habis, Anda akan terus kena bunga. Kuncinya disini adalah bahwa hutang Anda harus dibuat makin kecil dan makin kecil."
Tuti berpikir sebentar. "Okelah"
"Terus bagaimana pembagiannya?" kata Tuti lagi. "Apa saya harus bagi uang Rp 540 ribu untuk membayar semua kartu secara sama besar?"
"Tidak, Bu Tuti. Begini. " kata saya. "Pertama-tama, bayar semua kartu Anda secara minimal."
Tuti melihat lagi ke kertasnya. "Itu berarti, total adalah Rp 174.662."
"Betul. Sekarang berapa sisanya? Rp 540.000 dikurang 174.662?"
Tuti menghitung di kalkulatornya. "Rp 365.338"
"Oke gunakan sisa uang Rp 365.338 itu untuk digunakan membayar kartu yang suku bunganya paling besar."
"Lho bukan yang saldo hutangnya paling besar?"
"Bukan, Bu Tuti. Yang suku bunganya paling besar."
Tuti menoleh ke kertasnya. Kartu yang suku bunganya paling besar adalah yang di Bank C. Bunganya 3,10 persen per bulan.
"Kebanyakan orang mengira bahwa prioritas pertama harus ditujukan ke kartu yang saldo hutangnya paling besar. Sebetulnya tidak, prioritas pertama harus ditujukan ke kartu yang men-charge suku bunga yang paling besar. Ini karena suku bunga adalah biaya yang harus Anda bayar. Jadi, wajar kalau Anda membayar kartu yang suku bunganya paling besar terlebih dahulu." Kata saya.
Tuti berpikir sebentar.
"Tapi kartu saya yang C ini saldo hutangnya adalah Rp 203.000. Padahal jatah sisa uangnya tadi Rp 365 ribu"
"Masih ada sisa berarti," kata saya.
"Dikemanakan, nih, sisanya?" tanyanya.
"Untuk membayar kartu yang membebankan suku bunga besar berikutnya," kata saya.
Demikian pembaca. Tuti akhirnya bisa menghabiskan hutang kartu kreditnya dalam waktu empat bulan. Sebagai alternatif, bila Tuti ingin membayar kartu kreditnya secara penuh, ia juga bisa mencari aset lain yang ia miliki untuk bisa dijual, dan uangnya bisa digunakan untuk membayar hutang-hutangnya.
Jadi pembaca, bayar tagihan kartu Anda secara lunas. Kalau Anda tidak punya uang, cari aset apa yang bisa Anda jual untuk membayar tagihan itu. Ini karena tagihan Anda akan berbunga, dan bunga itu akan berbunga lagi. Begitu seterusnya. Semua aset yang Anda miliki harus digunakan untuk meringankan - bahkan menghapus - hutang Anda. Bila Anda tidak bisa membayar tagihan Anda secara lunas, maka anggarkan sekitar 30 persen dari penghasilan Anda setiap bulan, dan gunakan itu untuk membayar tagihan kartu kredit Anda secara minimal, dan gunakan sisanya untuk membayar kartu yang suku bunganya paling besar.